"JAWABAN ATAS BUKU KENANG-KENANGAN BAHAGIA"
Pelaksanaan PEPERA 1969,ibarat luka yang tak kunjung sembuh sampai hari ini. Mengapa hasil akhir PEPERA tidak diterima "dihati rakyat papua"? Mengapa melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menghasilkan resolusi PBB 2504 yang dalam perlaksanaannya hanya melibatkan 1025 orang Papua dari perkiraan populasi
hak memilih saat itu 800.000 jiwa orang Papua ?
Berikut ini adalah catatan sejarah PEPERA 1969 yang di himpun dari berbagai sumber sebagai jawaban atas buku "KENANG-KENANGAN BAHAGIA" yang isinya tentang perjalanan 41 orang "pilihan" dari 8 kabupaten (Tidak termasuk Yapen-Waropen) dalam menyampaikan Pernyataan kebulatan Tekad ke pada Presiden RI Soeharto pada tanggal 18 Agustus 1968 di Istana Negara Jakarta. Walaupun Informasi dari Papuaweb :http://papuaweb.org/goi/uu-dll/uu1969-12.html,tentang :PEMBENTUKAN PROPINSI OTONOM IRIAN BARAT DAN KABUPATEN-KABUPATEN OTONOM DI PROPINSI IRIAN BARAT,Nomor: 12 TAHUN 1969 (12/1969),Tanggal: 10 SEPTEMBER 1969 (JAKARTA) ada SEMBILAN (9) kabupaten tetapi pada tahun 1968 perwakilan dari Kabupaten Yapen-Waropen saat itu tidak ikut dalam "41 orang pilihan" tersebut. Ada apa dengan "orang-orang Yapen dan Waropen?"
Berikut beberapa catatan hasil PEPERA dari dua sumber sebagai berikut:
Catatan dari sumber pertama menulis demikian :
- Papua berintegrasi penuh dengan Indonesia pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menghasilkan resolusi PBB 2504. Dalam perlaksanaannya hanya melibatkan 1025 orang Papua dari perkiraan populasi hak memilih saat itu 800.000 jiwa orang Papua. Sehingga resolusi ini haya sebagai catatan perjanjian, bukan pengesahan dari PBB. Pada sidang umum PBB tahu 1969 hasil PEPERA masih dipandang bermasalah sehingga resolusi 2504 ini pun tidak pernah disahkan. Voting yang dilakukan waktu itu bukanlah pengesahan hasil Act of Free Choise (AFC) atau Pepera, tetapi voting untuk draft resolusinya. Dari hasil voting itu 84 negara menyetujui konsep resolusi, 30 negara abstain, dan tidak satu pun negara yang tidak menyetujuinya.
- Pada sidang tanggal 13 November dan Sidang sesi pagi 19 November 1969 ketika membahas pelaksanaan ACF atau PEPERA berdasarkan laporan sekjen PBB tidak diambil keputusan politik tentang status politik Papua Barat. Banyak delegasi menolak pelaksanaan AFC ala Indonesia sehingga hasilnya pun di tolak. Karena itu tidak ada ratifikasi atau pengesahan hasil AFC atau PEPERA.
- PBB hanya mencatat resolusi tersebut dalam buku agenda PBB dengan nomor resolusi 2504 (XXIV) namun naskah resolusi tidak diratifikasi/ditandatangi oleh negara-negara anggota PBB. Tentu saja, hal itu terjadi karena dalam sidang tersebut terjadi perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB terkait pelaksanaan Pepera di Papua. Selain itu juga, laporan hasil pengamatan PEPERA dari perwakilan PBB yang saat itu berada di Papua, Dr.Ortiz Sanz yang secara nyata mengatakan kekecewaannya dalam laporan yang disampaikan.
- Keterlibatan militer saat PEPERA berlangsung di Papua Berdasarkan surat telegram resmi Kol.Infan.Soepormo,Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih nomor:TR-20/Ps/PSAD/196,tertanggal 20-2-1967, dan juga dari Radio gram MEN/PANGAD No.:TR-228/1969 TBT tertanggal 7-2-1969: memperingatkan segala aktivitas dimasing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari angkatan darat maupun lainya. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA (Irian Barat) tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan–bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.
- Surat rahasia Komando Militer Wilayah XVII Tjendrawasih,Kolonel Infanteri Soemartono-NRP.16176,Kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969,Nomor:R-24/1969 Status surat rahasia,Perihal Pengamanan PEPERA di Merauke. Isinya dapat diringkas menjadi“Kami harus yakin untuk kemenangan ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa oleh karena itu saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia [1]
- Penyesalan Perwakilan PBB, Dr.Fernando Ortiz Sanz dalam Laporannya. Dalam raporan resminya pada sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan “Mayoritas orang Papua Menunjukan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” Penyesalan-penyesalan Ortiz Sanz ini pernah dibahas dalam artikel ini: Memahami Kesalahan Di Masa Lalu dan Akar Persoalan Di Tanah Papua.
- Protes Negara-negara anggota PBB dalam sidang umum PBB tahun 1969 Dalam arsip resmi di kantor PBB New York Amerika Serikat 156 dari 179 pernyataan masih tersimpan,sampai pada tanggal 30 April 1969. Dari jumlah ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia dan 2 pernyataan Netral.
- Berdasarkan laporan dan keberatan-keberatan yang disampaikan Dr.Ortizan dalam sidang Umum PBB. Duta besar Pemerintah Gabon, Mr.Davin mengkritik sebagai berikut “Setelah kami mempelajari laporan ini ,utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawara rakyat Irina Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan–keberatan yang dirumuskan oleh Dr.Ortiz Sanz dengan kata-kata terakhir pada penutup laporannya. Kami harus menyatakan kejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti–bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan sekretaris Jenderal:
Apa Penyesalan Ortiz Sanz atan pelaksanaan PEPERA?
Sumber kedua menuliskan sebagai berikut :
- Dr. Fernando Ortiz Sanz, menyampaikan bahwa : “saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli” (dokumen PBB, Annex I, A/7723, Paragraph 251, hal.70). Kutipan aslinya: “I regret to have to express my reservation regarding the implementation of article XXII of the New York Agreement, relating to “the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and assembly, of the inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this important provision was not fully implemented and the Administration exercised at all times a tight political control over the population” (UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70
- Pemerintah Indonesia telah menentang PBB dengan tidak melaksanakannya Perjanjian New York Pasal XXI (22). Penentangan itu terbukti dengan Surat Keputusan resmi Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno bernomor: 8/Mei/1963 yang menyatakan: “Melarang/ menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, pertemuan umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman- pengumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden” (SK, No. 8, Mei 1963).
- Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB menyatakan pula tentang kekecewaannya. Karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI (16) di Papua Barat.“Saya harus menyatakan pada awal laporan ini bahwa, ketika saya tiba di Papua pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah tentang tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan Pasal XVI (16) Perjanjian New York. Walaupun, ahli PBB yang harus berada di Papua pada saat peralihan tanggungjawab administrasi sepenuhnya kepada Indonesia telah dikurangi, mereka tidak pernah mengetahui secara baik keadaan-keadaan dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati, membatu dalam persiapan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang penentuan nasib sendiri tidak didukung selama masa bulan Mei 1963 s/d 23 Agustus 1969 …” (paragraph 23, hal. 12). Kutipan aslinya: “I must state at the outset of this report that, when I arrived in the territory in August 1968, I was faced with the problem of non-compliance with the provisions of article XVI of the Agreement. Though the United Nations experts who were to have remained in the territory at the time of the transfer of full administrative responsibility to Indonesia had been designated, they had never, owing to well known circumstances, taken up their duties. Consequently, their essential functions of advising on and assisting in preparation for carrying out the provisions for self-determinations had not been performed during the period May 1963 to 23 August 1969 …”(paragraph 23, p. 12).
- “Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasai oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih daripada 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka sepakat tinggal dengan Indonesia”( paragraph 250, hal. 70).Kutipan aslinya: “The petitions opposing annexation to Indonesia, the cases of unrest in Manokwari, Enarotali, and Waghete, the flights of number of people to the part of the island that is administrated by Australia, and the existence of political detainees, more than 300 of the population of West Irian held firm conviction in favour of independence. Nevertheless, the answer given by the consultative assemblies to the questions put to them was a unanimous consensus in favour of remaining with Indonesia” ( paragraph 250, hal. 70).
- “… Pada beberapa kesempatan, saya mendekati pemerintah Indonesia yang berkuasa pada saat itu untuk tujuan melaksanakan ketentuan-ketentuan pasal XVI (16), tetapi gagal mendapat jawaban yang menyenangkan. Pada tanggal 7 Januari 1965, sebagaimana diketahui, Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB, dan oleh karena itu tidak memungkinkan untuk mengutus ahli PBB ke West New Guinea (Irian Barat)” (paragraph 7, hal. 3).Kutipan aslinya: “… on several occasion, I approached the Government which was in power in Indonesia at the time for purpose of implementing the provisions of article XVI, but failed to obtain a favourable reply. On 7 January 1965, as is well known, Indonesia withdrew its co-operation with the United Nations and it therefore became impossible to send the United Nations experts West New Guinea (West Irian)” (paragraph 7, p. 3).
- “Pelaksanaan bagian kedua Perjanjian New York sangat berbahaya selama ketidakpastian waktu tidak hanya dengan penarikan diri sementara dari PBB tetapi juga dengan ketidakhadiran sebagaimana telah disebutkan dalam paragraph 14 di atas, ahli PBB yang harus berada di Papua sesuai dengan Pasal XVI (16 ) Perjanjian New York” ( paragraph 23, hal. 12).Kutipan aslinya: “The implementation of the second part of the Agreement was jeopardised during the certain period of time not only by the temporary withdrawal of Indonesia from the United Nations but also by the absence, as already mentioned in paragraph 14 above, of the United Nations experts who have to have remained in the territory in accordance with article XVI the Agreement” (paragraph 23, p. 12).
- “Saya memegang pekerjaan saya di Markas PBB di New York ditempatkannya kantor sekretariat dan personil. Walaupun keinginan dan kesediaan saya untuk berangkat ke Papua secepatnya sesudah jabatan saya, keberangkatan saya ditunda sampai 7 Agustus 1978 atas permintaan resmi dari pemerintah Indonesia” (paragraph 27, hal. 13). Kutipan aslinya: “I commenced my work at United Nations Headquarters in New York, were the Secretariat placed offices and personel at my disposal. Despite my willingness and readiness to travel to territory immediately after my appointment, my departure was postponed until 7 August 1968 at the official request of the Indonesian Government” ( paragraph 27, p. 13).
- “Saya menerima reaksi tidak resmi atas nasihat saya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dan metode yang memungkinkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sampai suatu pertemuan diadakan menteri luar negeri tanggal 10 Februari 1969, ketika pemerintah Indonesia menginformasikan kepada saya bahwa proposal metode diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dalam konsultasi-konsultasi untuk diadakan selama bulan Maret 1969” (paragraph 83, hal. 29).Kutipan aslinya: “I received no official reactions to my suggestions concerning the questions to submitted to the representative councils and possible method for the act of free choice until a meeting held at the Ministry of Foreign Affairs on 10 February 1968, when the Government informed me of the method it proposed to submit to the representative councils in consultations to be held during the month of March 1969” (paragraph 83, p.29).
- “Ini berarti bahwa pemerintah Indonesia masih bermaksud melengkapi metode musyawarah untuk keputusan melalui perwakilan rakyat tetapi berlawanan dengan ide yang disampaikan pada 1 Oktober (lihat paragraph 8), itu direncanakan untuk melaksanakan pemilihan bebas tidak melalui satu badan 200 perwakilan, tetapi sebagai akibatnya melalui delapan wakil (perawakilan) terdiri dari 1.025 perwakilan” (paragraph 85, hal.30).Kupitan aslinya: “This meant that the Government still intended to apply the consultation (musyawarah) method of decision through representative of the people but, in contradiction to the ideas expressed on 1 October (see paragraph 81), it planned to carry out the act of free choice not through no body of 200 representatives but consecutively through eight consultative assemblies, comprising some 1.025 representatives” (paragraph 85, p. 30).
- Perwakilan PBB ini juga, melaporkan bahwa dia menerima keinginan dan pandangan orang Papua disampaikan dengan berbagai bentuk kepada Ortiz Sanz sebagai perwakilan PBB. “Pandangan dan keinginan rakyat dinyatakan melalui berbagai saluran. Pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demostarasi-demostrasi damai, dan beberapa terwujud pada ketidakpuasan rakyat, termasuk peristiwa-peristiwa sepanjang perbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua dan New Guinea yang dikuasai oleh Australia” (Paragraph 138, hal. 45).Kutipan aslinya: “The views and wishes of the people were gragually expressed through various channels: petitions and other communications submitted to me in writing or orally, peaceful demonstrations, and in some cases manifestation of public unrest, including incidents along the border between West Irian and Territory of Papua and New Guinea administrated by Australia” (paragraph 138, p. 45).
- Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB bahwa selama dia berada di Papua telah menerima 179 pernyataan dari orang Papua. Simaklah kutipan di bawah ini: “Selama waktu misi saya berada di Papua, saya menerima sejumlah 179 pernyataan dari orang Irian Barat, politisi, sipil, dan kelompok mahasiswa, bahkan dari orang Irian Barat yang berada di luar negeri” (Paragrap 140, 46). Kutipan aslinya: “During the time my mission was in territory, I received a total of 179 petitions from West Irianese persons and political, civil, and student groups, as well as from Irianes residing abroad” (paragraph 140, p. 46).
- “Mayoritas menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua sering menyatakan kritik tentang administrasi Indonesia, mengadu kurangnya jaminan atas hak-hak dasar dan kemerdekaan, termasuk kebebasan untuk mengatur partai politik oposisi, permintaan pembebasan tahanan politik dan partisipasi dalam pelaksanaan pemilihan bebas seluruh orang Irian Barat, termasuk yang tinggal di luar negeri, pengaduan resolusi-resolusi dan pernyataan-pernyataan keinginan Indonesia sebagai kegagalan dan ditanda tangani oleh rakyat di bawa tekanan dari pemerintah resmi Indonesia; meminta untuk persyaratan sistem “satu orang satu suara= one man one vote” dalam pelaksanaan pemilihan bebas dan dipilih oleh dewan perwakilan rakyat, dan dinyatakan pandangan bahwa kelompok oposisi (lawan) hendaknya diberikan perwakilan dalam dewan-dewan” ( paragrap 143, hal. 47). Kutipan aslinya:“… The majority indicated the desire to sever ties with Indonesia and support the idea of the establishment of a Free Papua State. The petitioners often expressed criticism of the Indonesian administration; complained against acts of repression by the Indonesian armed forces; denounced the lacf of guarantees for basic rights and freedoms, including the freedom to orginise opposition political parties; requested the release of political prisoners and participation in the act of free choice of all Irianese, including those residing abroad; denounced resolutions and statements in favour of Indonesia as false and signed by people under pressure from Indonesian officials; asked for the application of the “one man, one vote” system in the act of free choice and in the election by the people of the representatives to the councils, and expressed the view that opposition groups should be given representation in the councils” (paragraph 143, p. 47).
- “Pemimpin-pemimpin penentang meminta penarikan pasukan-pasukan Indonesia dari Paniai dengan menjelaskan bahwa rakyat berkeinginan untuk melaksanakan hak pemilihan bebas tanpa tekanan. Sebuah pesawat pemerintah membawa dukungan 16 tentara, dan pada tanggal 30 April tembakan dimulai antara pasukan-pasukan Indonesia dan penentang dibantu oleh pembelot dari anggota tentara dan polisi” (paragrap 160, hal. 51). Kutipan aslinya: “The leaders of the insurgents requested the withdrawal of Indonesian troops from Paniai with the explanation that the people wanted to exercise the right of free choice without pressure. A government plane brought reinforcements of sixteen soldiers, and on 30 April shooting started between the Indonesian troops and the insurgents aided by the armed police deserters” (paragraph 160, p. 51).
- Fernando melaporkan pula bahwa pelarian orang-orang Papua ke Papua New Guinea adalah karena ketidakpuasan terhadap pelaksanaan penentuan pendapat yang tidak demokratis, tidak jujur dan penuh intimidasi dan teror oleh kekuatan militer Indonesia.“Namun demikian, keadaan yang sulit daerah lintas batas selama misi saya di Irian Barat menunjukkan keputusan politik pasti tidak memuaskan bagian dari beberapa orang penduduk asli” (paragrap 172, hal. 54).Kutipan aslinya: “Nevertheless, the recurrence of border crossing during my mission in West Irian seems to show a certain degree of political dissatisfaction on the part of some of the inhabitants” (paragraph 172, p. 54).
- “Walupun secara jujur hasil negatif dicapai pada saat itu, saya melanjutkan usaha saya supaya Pasal XXII (22) Perjanjian New York patut dilaksanakan pada pertemuan menteri luar negeri pada 24 Mei, saya berkata bahwa masalah pelaksanaan penuh Pasal XXII (22) Perjanjian New York, berhubungan dan hak-hak kebebasan dibicarakan pada saat itu, tidak ada usaha nyata untuk diterima. Saya menyarankan bahwa pemerintah Indonesia hendaknya mengijinkan lawan politik berkesempatan untuk menyatakan pandangan mereka, sejak itu waktu yang tepat untuk diterima” (paragrap 180, hal. 56). Kutipan aslinya: “Notwithstanding the fairly negative result achived up to that time, I continued my effort to have article XXII properly implemented. At a meeting at the Ministry of Foreign Affairs on 24 May, I said that the problem of the full implementation of article XXII concerning rights and freedoms had to be dealt with because, up to that time, no concrete measures had been adopted.I suggested that the Indonesian government should allow the opposition the opportunity to express its views, since that was the moment to adopt courageous and generous measures” (paragraph 180, p. 56).
Sumber:http://ampbandungjabar.blogspot.com/2014/03/sejarah-pepera-utusan-pbb-kecewa-atas.html
Catatan Penutup :
Sejarah PEPERA 1969 tidak bisa dirubah,kecuali orang melupakannya. Luka Orang Papua semakin memborok ketika beberapa daerah dijadikan DOM,dan operasi-operasi Militer telah membunuh ribuan orang Papua,penangkapan,pemenjaraan menjadikan luka orang Papua sulit disembuhkan. Karena itu saya berkesimpulan bahwa "Keinginan untuk Merdeka" bertumbuh dan berakar didalam budaya orang Papua. Mengapa? Karena itulah "Pengharapan" dimasa kini dan masa akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar